Selasa, 10 Februari 2009

Cerita Rakyat : Nyai Ageng Bakaran

I


NYAI AGENG BAKARAN

Perang saudara antara Giriwardana dengan Kertabumi semakin meruntuhkan singgasana Majapahit. Para Adipati bertindak sendiri-sendiri tidak loyal lagi kepada kerajaan. Kondisi politik yang tidak kondusif di wilayah kekuasaannya Banyak wilayah Majapahit mengadakan pemberontakan melawan Majapahit. penyerahan upeti dan tindakan semena-mena para adipati terhadap rakyat, semakin tidak bisa ditolelir. Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa gemilang di jaman Hayam Wuruk dan Patih Gajahmada diambang kehancuran, lambat-laun mengakibatkan runtuhnya Majapahit.[1]

Para rohaniawan Islam yang masuk dalam lingkungan keraton sebagai penasehat Para Bangsawan Majapahit. Mereka mengadakaan syiar Agama Islam dari dalam keraton, dengan mencoba memasukan beberapa aturan Islam di dalam pemerintahan. Meski mendapat saingan dari para pendeta Hindu-Budha. Meskipun demikian Mereka dapat hidup berdampingan, membantu kinerja kerajaan Majapahit. Melihat kondisi perang saudara, mereka menyarankan agar segera diadakan perdamaian. Mereka prehatin atas nasib rakyat Majapahit.

Santri dari Murid-murid Sunan Bonang sedang menyusun kekuatan, di daerah Kediri bersama kelompok santri Sunan Giri[2] mendesak para wali untuk segera merebut Kerajaan Majapahit, sementara kelompok Sunan Kalijaga menahan untuk tidak mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan, namun ini tidak bertahan lama sebab sidang para wali sepakat menentukan sikap untuk mengadakan perlawanan guna menyelamatkan nasib rakyat.[3]

Raden Patah menggempur sisa-sisa kekuatan Majapahit. Orang-orang yang masih setia kepada rajanya berusaha mempertahankan diri dan mengadakan perlawanan. Namun karena kekuatan majapahit semakin lumpuh digempur Pasukan Demak dari segala sector.[4] Orang-orang majapahit yang bertahan banyak yang menyerahkan diri. Penguasa Majapahit terakhir Brawijaya V melarikan diri ketimur mau menyebrang ke pulau Bali. Sisa-sisa Majapahit kocar-kacir menyelamatkan diri dari kejaran Raden Patah, mereka berlari menjauh meninggalkan Majapahit, ada yang berlari ke utara, selatan, barat timur. terkadang terjadi peperangan ditengah jalan..

Beberapa orang-orang Majapahit yang berusaha menyelamatkan diri seperti Ki Bicak, Nyai Bicak, Murni Sabirah, Joko Suyono, Ki Dhukut, Ki demang Joyo Truno.[5] Mereka mencari perlindungan ke daerah Kediri yang masih wilayah Majapahit. Mereka bertemu dengan Joyokatong untuk mengutarakan maksud dan tujuannya ke wilayah tersebut tidak lain adalah meminta suaka politik.

“ aku tak berani menanggung keselamatan kalian, disini juga mau di serang pasukan Demak, kalau kalian masih tetap tinggal disini, harus ikut berperang, sekarang pasukan Demak sedang menuju ditapal batas ”

“ Tapi kami tak mempunyai kekuatan untuk perang Ndoro, kami harus membawa para pengungsi ini ke daerah aman”

“ Disini tidak aman!!” Joyokatong melihat para pengungsi yang terdiri dari anak-anak, orang tua, wanita hamil dan orang-orang yang terluka akibat kejaran pasukan Demak

“Kami harus kemana Ndoro?”

Joyokatong menyarankan Ki Bicak dan rombongannya menuju ke arah barat melewati hutan belantara dan jangan sampai ketemu dengan Pasukan Demak yang mau menyerang ke arah timur,hindari kontak senjata dengan pasukan Demak.

“ Di sana sedulur akan ketemu dengan Ki Ageng Sela ”

Berangkatlah Ki Bicak beserta rombongan ke arah yang disarankan Joyokatong Mereka menyamar dengan baju compang-camping agar terhindar dari penciuman pasukan Demak. Selain itu mereka membuang peralatan perang seperti; tombak, perisai, pedang di tengah hutan, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Ki Ageng Sela, sebagai rakyat biasa

Beberapa kali rombongan Ki Bicak ketemu dengan pos-pos pasukan Demak, Ki Bicak berusaha untuk menenangkan rombongan

“ Di, kita tidak bisa menggerombol begini nanti bisa dicurigai pasukan Demak, bagaimana kalau kita bagi menjadi beberapa kelompok, Joko Suyono kamu dengan Murni Sabirah jalan duluan, nanti di susul Ki Dukut sama Ki Demang Joyo Truno ”

“ Lha sampyan gimana Ki? Saya sama Ki Bicak saja!” Joko Suyono tak tega melihat Ki Bicak yang kerepotan karena membawa istrinya yang sedang hamil tua.

Satu per satu mereka berhasil melewati sepasukan Demak. yang tercecer di belakang ketangkap pasukan Demak, Ki Bicak semakin cepat meneruskan perjalanan. Menyebrangi kali menuju di balik bukit Kendeng menghindari kejaran Pasukan Demak.

Ditengah perjalanan Nyai Bicak merintih kesakitan dari sela-sela kakinya keluar air ketuban

“ Kakang, aku ndak kuat..!” Ki Bicak menahan tubuh nyai yang mau jatuh, kemudian direbahkan dipangkuannya, jemari nyai memegang erat lengan Ki Bicak, dengan penuh kasih sayang Ki Bicak membelai rambut sang istri tercinta

“ Ya, Rayi…Kakang disini ” dalam keadaan mencekam terdengar tangis bayi laki-laki keluar dari rahim Nyai Bicak kemudian dipotong ari-arinya. Nyai Bicak badannya lemas tak berdaya nafasnya tersenggal-sengal. Didekatkannya si orok kepada ibunya, selang kemudian Nyai Bicak menghembuskan nafas yang terakhir. Seketika itulah pecah suara tangis mereka

“ Rayi…” Ki Bicak tak kuasa menahan tangisnya

Mereka putuskan untuk tinggal beberapa hari, memberi perawatan pada si jabang bayi, setelah dirasa kuat mereka terus melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan harapan bisa bertemu Padepokan Ki Ageng Selo. Ganasnya hutan Jawa, hewan-hewan liar, hujan deras, melewati rawa-rawa sering mereka jumpai, rintangan yang menghadang dihadapi bersama.

Akhirnya mereka menemukan orang yang bernama Ki Ageng Selo, di Purwodadi, daerah Grobogan. Mereka mengutarakan maksud dan tujuannya mencari Ki Ageng Sela untuk mencari perlindungan. Seperti apa yang pernah diutarakan kepada Joyokatong, namun Ki Ageng Selo tak bisa menjamin keselamatan Rombongan Ki Bicak. Alasannya karena suhu politik dan sikap bimbang Ki Ageng Selo, apakah ikut Pasukan Demak mendirikan Kerajaan baru beragama Islam ataukah mempertahankan kekuasaan Majapahit.[6] Selain itu Kerajaan Demak semakin besar wilayah kekuasaanya Ki Ageng Sela takut bila melindungi buronan kerajaan Demak maka ia menyarankan untuk cepat meninggalkan padepokan nya, mencari tempat persembunyian jauh, sebab sewaktu-waktu Pasukan Demak bisa menyerbu padepokan akhirnya Mereka berpencar ke arah utara mencari perlindungan sendiri-sendiri demi keselamatanya.

Ki Dhukut bersama adiknya, Murni Sabirah, Joko Suyono mencari daerah yang dapat digunakan untuk tempat tinggal. mereka berpisah dengan Ki Bicak dan putranya yang menuju ke arah lain. Mereka memasuki lembah dan perbukitan kapur membelah jalan di tengah hutan. Murni Sabirah berhenti dan beristirahat di suatu tempat, ia sangat kelelahan setelah mengadakan perjalanan yang panjang

“Ayo, Rayi jangan berhenti nanti kita ditangkap, cepat kita harus mencari tempat persembunyian” ajak Ki Dhukut yang nafasnya tersenggal-senggal.

“Sudahlah kakang! Saya mau istirahat di tempat (mekuwon) sini dulu!” pinta Murni Sabirah sambil melihat sekelilingnya yang sangat cocok untuk tempat persinggahan sementara, disamping itu tempatnya juga landai.

“besuk kalau daerah ramai dan banyak penghuninya akan kuberi nama Pekuwon” bisiknya.[7]

“ya, sudah biar Joko Suyono yang menemani, nanti kalau sudah hilang capeknya kalian berdua segera menyusul!” dengan senang hati Joko Suyuno menerima perintah Ki Dhukut, karena ada kesempatan berduaan dengan Murni Sabirah. Joko Suyuno diam-diam menaruh hati pada Murni Sabirah.

Sebenarnya Nyai Sabirah keberatan bila Joko Suyono harus tinggal bersamanya namun berhubung yang memerintahkan kakaknya, Sabirah harus rela bila terus digoda terus sama Joko Suyono.

Ki Dhukut meninggalkan Murni Sabirah dan Joko Suyono, Ia meneruskan perjalanan ke arah barat. Di tengah perjalanan Ki Dhukut melihat pemandangan dari perbukitan Kendeng kemudian menuruni lembah, Ki Dhukut menemukan daerah aneh yang belum pernah Ki Dhukut menjumpainya. Sebuah rawa yang kiri-kanan banyak ditumbuhi Pohon Druju

“Lha disini yang ada kok Cuma tanaman Druju saja (Druju Sing Ana)?” maka daerah tersebut menjadi nama Druju Ana atau Juana. Ki Dhukut melambatkan perjalanannya, ia merasa tempat ini sangat cocok sebagai tempat perlindungan dan jauh dari kejaran pasukan Demak. Danau rawa yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kecil.

“Daerah ini sangat cocok untuk tempat tinggal.”

Ketika Ki Dhukut sedang sibuk membuka daerah dengan membabati pohon-pohon disekitar danau, Sabirah yang semula beristirahat di derah Pakuwon menyusul Ki Dhukut. Sementara Joko Suyono ditinggal di Pakuwon tidak mau ikut karena takut bila Sabirah Mengadu kelakuannya Pada Ki Dhukut.

“Kang! Kang Dhukut! kok kecil-kecil kayunya (alit-alit kajengipun)” Ki Dhukut menoleh dan terngiang-ngiang ucapan Sabirah tadi, kemudian Ki Dhukut memberi nama daerah tersebut Dhukut Alit.

Sabirah pun merasakan bahwa daerah itu cocok untuk ditempati, sehingga saling bahu-membahu dengan kakaknya untuk membuka daerah tersebut. Sabirah dan Ki Dhukut membabati pohon-pohon itu. Sabirah cepat mengikuti kakaknya, seolah sedang berlomba mengumpulkan kayu (ranting), sesekali Sabirah mengusap peluh keringat di dahinya.

“ Ya, Kakang! karena kakang laki-laki maka lebih cepat membuka wilayah, dibandingkan saya, perempuan mempunyai tenaga yang kecil ” Protes Sabirah karena kalah dalam mengumpulkan kayu-kayu untuk dibakar

“ Sekarang begini saja, kakang yang mengumpulkan kayu, saya yang membakarnya, nanti kalau daerah yang terkena abu, maka daerah itu menjadi milikku dan menjadi kekuasaannku” kayu-kayu terkumpul kemudian dibakar, tempat pembakaran tersebut menjadi Desa Bakaran. Namun hasil pembukaan daerah tidak dapat dinikmati Ki Joyotruno karean ia keburu meninggal lebih dahulu, kemudian di makamkan di Bakaran Kulon

Pasukan Demak terus mengadakan pengejaran di bekas wilayah Majapahit, vasal-vasal ditundukkan dan untuk mengakui keberadaan Demak Bintoro. Akhirnya Kertabumi atau Brawaijaya V ketangkap oleh pasukan Demak.[8] Ketika beliau mau menyebrang ke Pulau Bali. maka penyerangan dan perburuhan terhadap sisa orang-orang Majapahit dihentikan oleh Pasukan Demak.

Demikan juga Ki Dhukut maupun Sabirah bisa lega hidup damai tidak dikejar-kejar pasukan Demak, Bakaran menjadi rame, bertambah banyak orang yang mau tinggal bersama Sabirah Dan Ki Dhukut,. Meski demikian rasa khawatir dan cemas tetap saja menghantuinya. Untuk lebih aman dan menghilangkan semua perasaan itu. Nyai Sabirah membuat bangunan yang mirip dengan Langgar (Musholla) dan membuat sumur biar dikira sebagai tempat berwudhu. Dengan demikian kecurigaan orang akan hilang terutama bila bertemu dengan mata-mata Demak.

Desa bakaran yang dipimpin Sabirah menjadi ramai, dan mengalami kemajuan. Kabar itu terdengar sampai ketelinga Joko Suyono yang bertempat tinggal di Pakuwon. Ia berniat untuk turun dan menemui Murni Sabirah untuk minta maaf, disamping itu rasa kangen yang menggebu-gebu sudah tidak bisa ditahan lagi untuk segera bertemu gadis pujaan hati.

Pertemuan Joko Suyono yang bagus dengan Murni Sabirah gadis cantik adik dari Ki Dhukut membuat benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya, ketika Joko Suyono mengungkapkan hatinya dan ingin segera meminangnya, membuat Murni Sabirah menjadi bimbang, mau ditolak tidak sampai hati, mau diterima rasanya tidak bisa sebab rasa cinta dan kasih Sabirah hanya sebatas pada teman senasib seperjuangan, sama-sama pelarian dari Majapahit sehingga telah dianggap seperti saudaranya sendiri. Akhirnya Murni Sabirah mengambil jalan tengah yaitu dengan meminta sarat agar Joko Suyono sanggup untuk membuatkan tujuh buah sumur harus selesai dalam waktu satu malam dan sama bentuknya

Joko Suyono menyanggupi apa yang menjadi sarat untuk meminang Sabirah, dengan kesaktiannya Joko Suyono berhasil mewujudkan apa yang menjadi keinginan, namun setelah dihitung ternyata hanya enam, maka terkejut Joko Suyono, berhubung hari sudah pagi maka sebagai pelengkapnya sumur Sabirah diaku sebagai sumur buatannya. Sabirah tidak mau karena ketujuh sumur tersebut ada yang berbeda, terjadilah perang mulut. Murni Sabirah mengajak Joko Suyono untuk membuktikan bahwa sumurnya tidak semuannya sama.[9] Sabirah menjelaskan bahwa salah satu sumur itu bukan buatan Joko Suyono, karena sumur yang dibuat Sabirah menggunakan batu putih atau batu kapur sedangkan keenam sumur menggunakan batu merah.

Karena rasa ingin mendapatkan rasa cinta Sabirah maka ia berbohong dan membantah apa yang dikatakan Sabirah, ia bersikukuh bahwa sumur tersebut juga termasuk buatanya.

“ Baiklah Joko ! untuk membuktikan siapa yang benar diantara kita berdua, bagaimana kalau kita minum air dari sumur ini, kalau yang selamat berarti dia yang benar kalau yang salah akan mati” ia pun menyanggupinya dan keduanya mengambil air sumur tersebut dan diminumnya.

Akhirnya niat Joko Suyono pupus, ia termakan dengan sumpah dan tidak mau mengakui kesalahannya. Sabirah pun akan menyabut sumpahnya bila Joko mau mengakui kesalahannya. Hal itu tidak dilakukan pantang bagi kesatria mencabut omongannya.

Joko Suyono akhirnya meninggal, kejadian itu membuat sedih Murni Sabirah. Untuk menghormati teman senasib seperjuangan yang harus mati karena ingin memiliki rasa cintanya. Sabirah memerintahkan masyarakatnya untuk mengubur Joko Suyono di daerah tempat tinggalnya di desa Pekuwon.[10] Setelah upacara pemakamannya, di dekat sumur tersebut diadakan selamatan untuk mengenang mendiang Joko Suyono. Ia memerintahkan beberapa orang tua untuk memasak makanan yang akan digunakan selamatan dengan air dari sumur tersebut, serta melarang untuk mencicipi masakan itu.[11]

Desa bakaran semakin bertambah masyarakatnya, banyak para pendatang yang ingin berdomisili. daerah ini menjadi ramai dan makmur. Sabirah selalu perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, sering membantu bila warganya mengalami kesusahan. Sikapnya yang ringan tangan, membuat simpati warga Desa Bakaran, sehingga ia didaulat menjadi sesepuh desa bergelar Nyai Ageng Bakaran.

Suatu seketika di Desa Bakaran sering terjadi pencurian, sehingga membuat tidak tentram masyarakatnya. Pencurian yang dilakukan oleh Bedhes dari Desa Kincir sehingga namanya Bedhes Kincir. Ketika Nyai Ageng Bakaran menuju Desa Kincir dan mau bertemu dengan sesepuh Desa tersebut untuk menanyakan barang curian yang dibawa bedhes Kincir. Nyai Lamiah yang merupakan sesepuh Desa Kincir melindungi Orang Kincir dengan menolak tuduhan bahwa orang Kincir mencuri benih padi. Kemudian Nyai Lamiah bilang pada nyai Ageng Bakaran

“ Bila sawah ini nanti panen menghasilkan padi Kewal seperti padi bakaran maka itu berarti benih padi itu milik Bakaran sedangkan bila nanti Padi itu Rage (Padi yang berwarna merah dan berbulu) maka itu padi nilik orang Kincir” Nyai ageng Bakaran pulang dan menunggu panen padi untuk membuktikan kebenarannya.

Untuk mengantisipasi pencurian yang dilakukan Bedhes Kincir Maka diadakan ronda keliling, untuk menjaga ketentraman warga desa, namun masih terjadi pencurian, ternyata Bedes Kincir sebelum beraksi telah mengirimkan Sirep untuk melumpuhkan penjagaan. Sehingga para peronda tertidur pulas sampai pagi. Desa Bakaran kebobolan lagi akibat kelalaian para peronda.

Nyai Ageng Bakaran mencari nyamuk di daerah Lasem, agar masyarakat yang menjaga kampung, tidak tertidur waktu Ronda keliling. Nyai Ageng Bakaran mencari nyamuk sebanyak-banyaknya kemudian di taruh pada bakul kecil. Di dalam perjalanan ia kemalaman kemudian istirahat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Nyai Ageng Bakaran terkejut melihat bakul yang berisi nyamuk bergeser sehingga nyamuknya pada keluar. Maka oleh Nyai Ageng Bakaran tempat itu dinamakan Desa Ngerang.

Nyai Ageng membawa sisa Nyamuk yang ada di bakul, untuk menambah nyamuk Nyai mencari nyamuk disepanjang perjalanan dengan menggunakan jala. Setelah memperoleh banyak nyamuk kemudian bakul itu dibawa dan dilepaskan di desanya. Bedhes Kincir tidak lagi melakukan pencurian di Bakaran karena tiap malam banyak orang yang belum tidur karena memburu Nyamuk. Desa bakaran kembali tenang lagi.

Panen padi melimpah di Desa Kincir, Nyai Ageng Bakaran datang ke Desa Kincir untuk membuktikan omongan Nyai Lamiah, ternyata panen padi Rage berwarna merah. Maka selamatlah Desa Kincir dari tuduhan Pencuri Benih padi, meski sebenarnya ini usaha dari Nyai lamiyah yang berdoa tiap malam agar padi yang dicuri dari Desa Bakaran bisa menjadi padi Rage ketika panen tidak menjadi padi kawal seperti padi Bakaran. Panen padi di Desa Kincir ini membuat Desa itu makmur,gemah ripah.

Pada suatu hari ada pemuda dari desa Kincir akan melamar Gadis dari Bakaran, orang tua calon pengantin meminta saran dan persetujuan para sesepuh desanya masing-masing. Desa Bakaran diwakili Nyai Ageng Bakaran sedangkan di Desa Kincir diwakili oleh Nyai Lamiyah. Keduanya mengijinkan berlangsungnya pesta perkawinan kedua mempelai, dia berharap perkawinan antar dua mempelai ini dapat merukunkan dua Desa. Sesepuh Kincir memilih kerbau yang paling besar untuk mas kawin.

Ketika pesta berlangsung di rumah putri Bakaran, pada acara Papagan berlangsung, suasana menjadi meriah, diiringi oleh gending. Pengantin pria dikawal Nyai Lamiyah dan Masyarakat Kincir membawa seokor kerbau besar. Mendengar suara gamelan bertalu-talu Kerbau lari terbirit-birit menyeret Nyai Lamiyah sampai jauh. Banyak orang mengejar Kerbau untuk menyelamatkan Nyai Lamiyah. Akhirnya berhenti di daerah sawah yang jauh dari kedua desa tersebut.

“ Perkawinan ini dibatalkan saja, saya tak mau anak keturunanku memiliki nasib yang sama dengan saya bila mengadakan perkawinan dengan orang Bakaran” Nyai Lamiyah memerintahkan kepada Masyarakat Kincir untuk kembali ke Desa Kincir. Demikian pula Nyai Ageng Bakaran juga melarang Masyarakat Desanya untuk kawin dengan masyarakat Desa Kincir.

Usaha masyarakat Bakaran yaitu medel (membatik) dan menjual nasi menjadi sepi setelah kejadian tersebut. Hal ini membuat Nyai Ageng Bakaran meminta pertimbangan pada kakaknya di Dhukut Alit, yang kebetulan sedang di Tambak sedang panen ikan, melihat usaha kakaknya yang melimpah, Nyai Ageng Bakaran menyarankan Masyarakat Bakaran untuk mencoba usaha baru yaitu mengolah dan menunggui pertambakan punya Masyarakat Dhukut Alit. Nyai Ageng dan Masyarakat Bakaran mengolah tambak, setelah panen kemudian yang memindangi Masyarakat Dhukut Alit dan sebagian dijual ke pasar oleh Ki Dhukut. Usaha pertambakan dengan kakaknya Ki Dhukut menjadikan masyarakat kedua desa menjadi tentram dan makmur. Sehingga Nyai Ageng Bakaran mencari kesibukan lain, sementara usaha tambak diserahkan pada masyarakatnya.

Nyai Ageng Bakaran mempunyai kegemaran baru yaitu memilihara ayam jago dan menyambung ayam, ia senang dengan ayam yang berbulu lurik. Setiap pagi dan sore dimandikan, sehingga ayamnya terkenal di Desa Bakaran dan sekitarnya sebagai ayam petarung yang sangat bagus,. Setiap bertarung ayam Lurik milik Nyai selalu menang

Pada suatu hari, datanglah salah seorang pelayar dari Cina.[12] bernama Dhang Phuang mendarat di Juana, ia sangat sakti mandraguna. Ia mendengar lewat pedagang-pedagang yang berada Bendar (pelabuhan) bahwa ada ayam jago yang sangat hebat tak pernah terkalahkan, mendengar cerita menarik itu, Dhang Puang segera memerintahkan anak buahnya untuk menyandarkan ke empat kapalnya ke suatu pulau, ia naik Sekoci (perahu kecil) mau singgah di Daerah Bakaran untuk menyambung Ayam dengan menantang ayam milik Nyai Ageng Bakaran.

Nyai Ageng Bakaran dengan ayam lurik menerima tantangan Dhang Phuang, mereke berdua sepakat untuk menyambung ayam di pulau yang digunakan bersinggah kapal Dhang Phuang. Ayam Dhand Phuang bernama Ayam Siyem yang sebenarnya adalah dari palu yang dengan kesaktiannya mengubah menjadi ayam. Sehingga nama ini dinamakan Tambak Siyem. Pertarungan dua ayam telah berlangsung, ayam lurik milik Nyai Bakaran patah kakinya dan kalah. Maka Nyai ageng mengambil ayamnya dan melaporkan pada kakaknya Ki Dhukut.

Oleh Ki Dhukut ayamnya yang patah disambung dengan dahan bambu agar bisa jalan, kemudian ayam itu dilepas. Kemudian Ki Dhukut meminjamkan ayamnya yang bernama “Tunggul Wulung”, berangkatlah Nyai Ageng Bakaran menantang Dhang Phuang untuk bertanding ulang dengan ayamnya. Kemudian kedua ayam itu diadu, ayam Tunggul Wulung menyambar ayam Siyem milik dhang Phuang dan berubah menjadi sebuah Palu, banyak yang terkejut menyaksikan kejadian itu. Dhang Phuang tidak mau terima sebab ia merasa ayam yang diadu buka ayam lurik miliknya Nyai ageng Bakaran. Kemudian terjadi debat

“Tadi ayam yang mengalahkan ayam saya bukan ayammu!”

“Tidak ini ayam saya, lihat ayam saya yang ada berwarna lurik (lurik Sing Ana), ada warna hitam, putih, kuning dan merah.”.[13]

Dhang phuang mengakui telah berbuat curang maka ia mengaku kalah dan akan memberi hadiah satu kapal (seperapat). Namun Nyai Ageng Bakaran tidak mau bahwa perjanjiannya bila yang kalah akan menyerahkan seluruh hartanya.

“Kenapa satu kapal, bukankan kapalmu ada empat buah?, bukankah kamu harus menyerahkan semua milikmu padaku!”. Dhang Phuang geleng kepala, sebab ia juga tahu ayam yang di adu dengan ayam siyem bukanlah milik Nyai Ageng Bakaran tapi ayamnya orang lain.

“ Aku tahu ayammu tlah patah dan kalah tidak mungkin mengalahkan ayamku! Makanya kamu saya kasih satu kapal saja”. Akhirnya Nyai Ageng Bakaran menerimanya, dan kapal itiu ditaruh dekat Pulau Sprapat.

“Besuk kalau pulau itu berpenghuni pulau itu saya beri nama Pulau Sprapat” kemudian Dhang Phuang pergi dengan ketiga kapalnya, namun ketiga kapal itu dihantam ombak hingga pecah,[14] pengumudi kapal terlempar ke daratan dan tempat itu dinamakan Sawah Kemudi, sedangkan layar kapal yang terlempar di daratan, dinamakan Sawah Layar

Setelah pertarungan ayam di pulau seprapat maka Nyai Ageng Bakaran dengan Ki Dhukut pulang dengan membawa ayam yang kakinya patah tadi. Nyai Ageng sangat sayang dengan ayam tersebut sehingga ia mau merawatnya dirumah. Ia memerintahkan penduduk Bakaran yang kebetulan sudah Haji untuk merawat ayam yang sakit, Nyai ageng memerintahkan merebus air

“ Nanti ayam ini direbuskan air!” haji tersebut menuruti perintah Nyai ageng Bakaran untuk merebus Ayam yang sakit. Sehingga Ayam lurik Nyai Ageng Bakaran mati. Marahlah Nyai Ageng sehingga ia berkata “ Haji..haji Gila!” dengan kata-kata tersebut haji tersebut menjadi gila.

Ki Bicak dengan putranya yang masih kecil berpisah denga rombongan Ki Dhukut, Sabirah, Joko Suyono tidak diketahui nasibnya. Ki Bicak membesarkan anak semata wayangnya dengan sendirian tanpa istinya. Anak laki-laki itu tumbuh menjadi pria dewasa, Ki Bicak yang sudah tua dan sakit-sakitan sangat bangga sekali dengan putranya. Maka sebelum kematiannya ia berpesan pada beberapa orang untuk mengantarkan anaknya ke Sabirah atau Nyai Ageng Bakaran yang merupakan bibinya. Nyai Ageng merasa senang bisa bertemu dengan Keponakannya yang telah lama tidak bertemu.

“ Ya siapa mengira (Sopo Nyono) aku bisa bertemu dengan keponakanku sendiri di hari tuaku ” maka anak laki-laki Ki Bicak Di namakan Soponyono. Nyai Ageng Bakaran, Ki Dhukut sangat sayang dengan keponakannya. Soponyono disuruh tinggal sama Ki Dhukut atau Nyai Ageng Bakaran. Soponyono memilih tinggal bersama dengan Bibinya Nyai Ageng Bakaran.

Soponyono berlatih mendalang dengan tekun akhirnya dia menjadi Dalang terkenal di Bakaran, yang selalu mementaskan wayangnya dengan gamelan berbunyi sendiri. Banyak orang menyebutnya Dhalang Soponyono.

****FREEDOM****



[1] Prof.Dr. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan, (Sejarah Kerajaan Majapahit).LKIS Yogyakarta. Menceritakan tentang puncak kebesaran Kerajaan Majapahit.

[2] ------------------------------, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa, LKIS Yogyakarta, buku ini mengupas tentang Walisongo dan keturunannya banyak yang berasal dari Cina, (buku ini dilarang beredar pada era 70 an-80 an. Karena dianggap mendiskriditkan pihak wali.

[3] aliran putih, cara berdawah yang disesuaikan dengan Alqur’an Dan Hadis, tidak membuka adanya akulturasi budaya. Cara berdakwah ini bersebrangan dengan golongan Sunan Kali Jogo, Sunan Muria.

[4] Setelah Panglima Pasukan Demak, Sunan Ngundung, gugur dalam penyerangan terhadap Pasukan Majapahit yang mau melarikan diri. Sunan Ngundung diganti dengan Jafar Sidik atau Sunan Kudus.

[5] Cerita Nyai Ageng Bakaran adalah Cerita Rakyat (Tutur Tinular) yang dikisahkan oleh Masyarakat sekitar Bakaran. Masalah kebenarannya, penulis serahkan kepada pembacanya Percaya atau tidak percaya?

[6] Katika pasca Majapahit ada dua kekuatan besar yaitu Pengging yang dipimpin Kebo Kenongo dibantu Padepokan Syeh Siti Jenar berhadapan dengan Demak Raden Fatah yang dibantu para Walisongo, pada awalnya Ki Ageng Selo membantu Pengging namun kemudian membaur dengan penguasa Demak.

[7] Pakuwon adalah tempat singgah yang dalam beberapa buku banyak menulis nama tersebut

[8] pada awalnya Raden Patah mengikuti saran Sunan Ngampel untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi Majapahit bagaimanapun juga Raden Patah masih anak dari Brawijaya V, akan tetapi nasehat Sunan Ngampel tidak dindahkan sama raden Patah, sehingga dia mengadakan penyerangan dan perburuhan besar-besaran terhadap sisa-sisa Majapahit Kertabumi

[9] ini banyak dilakukan dan dipercayai oleh para penduduk setempat bila mengadakan ijab Kabul kedua mempelai harus mengelilingi sumur ini.

[10] Masyarakat setempat menamai Ki Ageng Pakuwon

[11] tradisi ini terus dipakai oleh masyarakat setempat

[12] anak buah dari Laksamana Cheng Ho yang membawa berapa jung kapal….

[13] Hingga sekarang terkenal dengan Ayam lurik sana

[14] ada cerita bahwa kapal Dhang Phuang mendarat di lereng Muria dan bertempur dengan Sunan Muria, ada yang cerita bahwa kapal Dhang Phuang dirampok oleh Bajak Laut.

2 komentar:

  1. informasi yang sangat bagus gan :)

    Kunjungi juga website bakaran wetan di alamat
    http://www.bakaranwetan.info

    BalasHapus
  2. Mohon info lengkap sumber cerita ini, untuk keperluan skripsi. Terimakasih

    BalasHapus