Selasa, 10 Februari 2009

SEJARAH KOTA PATI 2

KAPAN BERDIRINYA KADIPATEN PATI ?

By Abdul Madjid

Sebentar lagi Pati akan memperingati hari jadinya, HUT yang ke 684. Namun penepatan tahun jadinya itu masih mengandung kontroversi dikalangan masyarakat, banyak yang mempertanyakan kapan dimulainya (start) Kadipaten Pati. Pro dan kontra terhadap berdirinya Kadipaten Pati, Berawal dari keinginan masyarakat untuk mengetahui hari jadi Kota Pati, Maka Bupati Pati Jaman Orde Baru Bapak Sunardji mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No 003.3/869/1991 tanggal 19 November 1992, untuk mencari hari jadi Kadipaten Pati. Tim ini diketuai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten, Ir. Haruman Anwar yang anggotanya terdiri dari kalangan pemerintah dan tokoh masyarakat.

Tim tersebut menelusuri jejak peninggalan Kadipaten Pati dengan mengadakan penelitian di Dukuh Tegal Kauman, Desa Gajian, Kecamatan Gunung Wungkal, yang terdapat Batu Prasasti “Berhuruf Pallawa”, ternyata peninggalan Jaman Raja Airlangga tertulis tahun saka 1260 (1204 M), namun tidak memberikan informasi tentang keberadaan Pati. kemudian merujuk ke peninggalan Makam Ki Ageng Ngerang di Desa Pakuwon Kecamatan Juana. Di samping itu tim juga mempertimbangkan letak geografis masa lalu, munculnya kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII, Pati masih berupa lautan. Selain itu Tim melihat refrensi buku karya Dr HJ de Graff Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, bahwa di Jaman Mataram Hindu, ada keturunan Medang Kamulan bernama Sandang Garba yang menguasai kota pelabuhan “Jung Pura” (Jepara) dan “Cajongan” (Juana), namun tak menyinggung nama Kadipaten Pati.

Akhirnya Tim mengambil kesimpulan bahwa berdirinya Kadipaten Pati menggunakan Cerita Babad Pati, dimulai dari usaha penyatuan Kadipaten Carangsoko dan Kadipaten Paranggarudo dengan surya sengkala Mulat Gapura Manembah Gusti, konon kepindahannya dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit yang kala itu diperintah Raja Jayanegara (1309-1328). Tim tersebut kemudian mengutak-atik kepindahan Kadipaten Pati dari Pesantenan ke Kaborongan dengan perhitungan hari baik, mempertimbangkan “Nagadina” dan “Nagatahun”, tradisi perhitungan hari di dalam masyarakat Pati sangat kental. Untuk menguatkan pendapat tersebut maka dicocokan dengan almanak Keraton Surakarta, sehingga ditemukan hari tanggal, bulan, dan tahun yakni Wuku Prabangkat, Dukut, Wulan (Bulan) Ruwah (Sya’ban)-Badra (Mangonsari). Sehingga di tulis diangka tahun saka 1245 (tata suci manembah aji), hari kamis (sesuai prasasti Tuhannaru) tahun masehi 1323, dengan surya Kaweruhing Manembah Budayaning Ratu. Yang ditulis lengkap di tahun masehi adalah Hari Kamis, 14 Agustus 1323.

Benarkah Kadipaten Pati berdiri pada hari Kamis, 14 Agustus 1323? Mengingat data-data yang dipakai untuk menandai tahun berdirinya berdasarkan rujukan dari cerita rakyat (tutur). Bisakah cerita tersebut dijadikan rujukan sebagai tanda tahun berdirinya sebuah kadipaten? sedangkan cerita rakyat adalah cerita yang berkembang di masyarakat. Cerita rakyat dibagi menjadi tiga golongan Mite (cerita yang dianggap benar terjadi dan suci), Legenda (cerita yang dianggap benar terjadi tetapi tidak dianggap suci) Dongeng (cerita yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat waktu dan tempat). Babad Pati termasuk katagori cerita yang mana?

Menelusuri tahun berdirinya sebuah Kadipaten harus dengan melihat pada bukti2 peninggalan masa lalu, Berupa kota, pemerintahan, situs-situs makam, lambang, data Toponim. Cerita rakyat (tutur) bisa dijadikan sebagai data sejarah bila melalui uji Historiografi. Salah satunya bila pelaku/saksi yang terlibat dalam peristiwa/kejadian itu hidup sejaman? Sehingga dapat dilakukan metode cross ceking untuk menemukan kebenarannya dari sejarah lisan (Oral History), Data-data yang diperoleh kemudian dijadikan pedoman/rujukan. Namun ada beberapa sejarahwan idialis yang meniti beratkan pada bukti-bukti peninggalan, mereka mengkaji secara detail dalam pegungkapan kebenaran sejarah, mereka berprinsip NO DOCUMENT NO HISTORY.

Berdirinya Kadipaten Pati menggunakan rujukan Babad Pati yang belum jelas kerangka tahunnya. Cerita Babad Pati adalah teks sastra Jawa Klasik (diterbitkan Balai Peostaka tahun 1937 dengan nomor 1245). Teks ini berasal dari naskah bertulis tangan dan berhuruf Jawa, namun buku ini tidak memberi informasi mengenai asal-usul naskah, kapan ditulis dan kapan di transliterasikan. Cerita ini Berisi 16 bab dengan sub judul sendiri-sendiri. Babad Pati ini berbentuk tembang seperti Asmaradana, Dandanggula, Sinom, Durma, Kinanti, Gambuh, Pangkur, Mijil, Megatruh dan Pocung (tetembangan Mocopat sendiri adalah karya seni dari maestro walisongo).

Dalam Babad Pati terdapat tokoh-tokoh yang dianggap pernah ada di masa silam seperti Raden Menak Jasari, Dewi Ruyungwulan, Yuyu Rumpung, Dalang Sapanyana, Kembangjaya, Baron Sekeber, dengan tokoh-tokoh yang benar-benar ada seperti Jayakusumo, Panembahan Senopati. Berdasarkan isi dari Cerita Babad Pati, kemungkinan Babad Pati ditulis untuk menandingi penulisan keraton Mataram (Istanasentris), atau mungkin ditulis ketika Kadipaten Pati ditundukkan Kerajaan Mataram?

Kalau Melihat tahun hari jadi Kadipaten Pati yang begitu sangat tua, bisa dikatakan Pati telah mengalami perjalanan sejarah panjang. Namun tim kesulitan dalam menemukan sisa-sisa masa lalu (petilasan). Benarkah Kadipaten Pati berdiri sendiri, bersamaan dengan Kerajaan Majapahit? Melihat nama-nama penguasa Pati seperti Kembangjoyo, Tombronegoro, Tondonegoro mungkin bisa dikatakan status namanya sejajar dengan R. Wijaya, Jayanegara (sesuai dengan kasta Hindu). Kalau seandainya Kadipaten Pati dibawah kekuasaan Majapahit mungkin penguasanya akan menggunakan nama yang statusnya lebih rendah di bawah raja seperti Kebo...?, Gajah ...?. Bagaimana bila berada dalam kendali Kerajaan Pajajaran sesuaikah nama-nama Penguasa Pati tersebut? Dalang Soponyono hidup di Jaman apa? Hindu atau Islamkah? Andai di jaman Hindu berarti wayang yang dipakai wayang Hindu bukan wayang kulit jaman Walisongo, Pertunjukan wayang di jaman Hindu masih sederhana, selain itu yang menikmati pertunjukan wayang adalah keluarga kerajaan saja, tidak untuk kalangan rakyat biasa.

Masa Pemerintahan Tondonegoro ke Jaman Pemerintahan Ki Penjawi memiliki Selang waktu yang sangat lama (dua setengah abad). Siapa yang berkuasa pada Kadipaten Pati rentang waktu tersebut? Andai Kadipaten Pati sangat tua kenapa miskin peninggalan (tidak ada Prasasti)? Paling tidak ada warisan yang dapat dikaji oleh sejarahwan? Mengapa tim penyusun menggunakan tahun berdirinya kadipaten berdasarkan pertimbangan penyatuan Kadipaten Carangsoko dan Paranggarudo yang berada pada Babad Pati? kenapa tidak berdasarkan pada pemerintahan Ki Penjawi? Yang memiliki banyak data peninggalan. Kenapa Penepatan tanggal tahunnya menggunakan “Nagadino” dan “Nagatahun” yang disesuaikan dengan hari baik tradisi orang Pati?. Apakah ini bukan usaha menduga-duga yang kemudian harus dipaksakan dan diyakini kebenarannya sebagai sejarah? Kerja tim penyusun sangat terburu-buru, mungkin untuk arif dan bijaksana dalam melihat sejarah, kalau tim penyusun menelusuri dahulu siapa pengarang Babad Pati ? dan pada tahun berapakah Babad Pati ditulis?.

NAMA ADIPATI/BUPATI PATI

NAMA-NAMA ADIPATI / BUPATI PATI

(Versi Pemda Pati)

Dari Parang Garuda sampai dengan sekarang

No

N A M A

Jabatan & Tempat

keterangan

1

Raden Tambranegoro

Adipati di Kadipaten Pesantenan dan Pati

Sekitar Tahun 1300

2

Raden Tandanegara

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1330

3

Kayu Bralit

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1511-1518

(de Graff)

4

Ki Ageng Penjawi

Adipati di Kadipaten Pati setelah meninggalnya Aryo Penangsang (penguasa Jipang Panolan)

Tahun 1568-15..

5

Raden Sidik bergelar Djajakoesoema I

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1577-1601

6

Djajakoesoema II

Adipati di Kadipaten Pati (Adipati Pragola I)

Tahun 1601-1628

7

Ki Aryo Panggedongan/Penjaringan

(Djajakoesoema III

Adipati di Kadipaten Pati (Adipati Pragola II)

Tahun 1628-1640

8

Setelah pemerintahan Adipati Pragola III, pemerintahan kosong / tidak didirikan Adipati, akan tetapi pemerintahan pecah menjadi 2 (dua) Ketemenggungan dan 7 (tujuh) Kademangan, yaitu;

Katemenggungan :

· Tumenggung Wetenan

· Tumenggung Kulonan

Kademangan :

· Demang Tenggeles

· Demang Selowesi

· Demang Cengkalsewu

· Demang Glonggong

· Demang Paselehan

· Demang Maergotuhu

· Demang Juana

9

Mangung Oneng I

(Lepek)

Adipati di Kadipaten Pati

S/d Tahun 1670 (Pakem)

10

Mangun Oneng II

(Widjo)

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1678-1682

11

Tumenggung Tirtono

(adik Mangoen Oneng II)

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1682-1690 (Pakem)

12

Mangoen Oneng III

(Abroenoto)

Adipati di Kadipaten Pati (Putra Mangoen Oneng II)

Tahun 1690-1701

13

Soemodipoero (Putra Pangeran Kudus)

Adipati di Kadipaten Pati

Tahun 1701-1718

14

Pangeran koming

(Pamegat Sari I)

Adipati di Kadipaten Pati (Putra Sumodipuro)

Tahun 1718-1720

15

Pangeran Kuning

(Pamegat Sari II)

Adipati di Kadipaten Pati (wafat dan makamnya di Kudus)

Tahun 1720

16

Pamegat Sari III (Raden Wiratmodjo)

Adipati di Kadipaten Pati (Pakem, hal 131, no. 16 zie sejarah 7/407)

Tahun 1761 dimukimkan di Dukuh Muktisari,Desa Muktiharjo

17

Pangeran Aryo (Megatsari III)

Adipati di Kadipaten Pati (Zaman Deandels zie sejarah 9/407)

Diasingkan ke Belanda dan makamnya di Surabaya

18

· Sosrodiningrat

· Mangunskusumo

Bupati Wetan

Bupati Kulon

Tahun 1807-1808

Tahun 1807-1812

19

Kiai Adipati Tjonronegoro

Bupati Pati/pindahan dari Bupati Lamongan

Tahun 1808-1812

20

Adipati Raden Tjonronegoro

Bupati Pati, dimakamkan di Desa Puri, Pati

Tahun1812-1829

21

Raden Bagus Mita bergelar Kanjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegoro

Bupati Pati

Tahun 1829-1895 dapat dibaca pada prasasti berdirinya Masjid Gambiran Pati

22

Raden Bagus Kasan bergelar Raden Adipati Ario Tjondro Adinegoro

Bupati pati

Tahun 1896-1904 (23 Januari)

23

Raden Tumenggung Prawiro Werdoyo

Bupati pati

Tahun 1904-1907

24

Raden Adipati Ario Soewondo

Bupati pati

Tahun 1907-1934

Wafat 4 Juni 1934 dimakamkan di Puri

25

K.G.P. Dipokoesoemo

Bupati pati

(enam bulan)

Tahun 1934-1935

26

R.T.A. Milono

Bupati pati,kemudian menjadi Residen Pati

Tahun 1935-1945

Tahun 1945-1948

27

M. Murjono Djojodigdo

Bupati pati

Tahun 1945-1948 tahun 1948 terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI/Muso. Mulai Desember 1948 clash II, pd. Bupati Pati ditunjuk Sukemi, Wedono Tayu. Pemerintahan RI di Todanan.

28

Raden Soebijanto

Bupati pati

Tahun 1950-1952

29

Raden Doekardji

Mangoen Koesoemo

Bupati pati

Tahun 1952-1954

30

Palal Al Pranoto

Palal Al Pranoto

Bupati pati

Kepala Daerah Swatantra

Tahun 1954-1957

Tahun 1957-1959

31

M.Soemardi Soero Prawiro

Pegawai Tinggi diperbantukan Pemda Tingkat II

Tahun 1957-1959

32

M, Soetjipto

Bupati Kdh. Pati

Tahun 1959-1967

33

A.K.B.P. Raden Soehargo Djojolukito

Bupati Kdh. Pati

Tahun 1967-1973

34

Kol.Pol.Drs, Edy Rustam Santiko

Bupati Kdh. Pati

Tahun 1973-1979

35

Kol.Inf.Panoedjoe Hidayat

Bupati Kdh. Pati

Tahun 1979-1981 menjabat 18 bulan/meninggal dunia

36

Drs. Soeparto

Residen Pati merangkap Pj. Bupati Kdh. Tingkat II Pati

S/d Agustus 1981

37

Kol.Art. Saoedji

Bupati Kdh. Tingkat II Pati

6 Agustus 1981

s/d

20 September 1991

38

Kol.Kav. Sunardji

Bupati Kdh. Tingkat II Pati

20 September 1991 s/d

20 September1996

39

Kol.Art.H.Yusuf

Bupati Kdh. Tingkat II Pati

20 September 1996

40

Muhammad Tasiman

Bupati Pati

Tahun 2001-2006

Sampai sekarang

Cerita Rakyat : Syeh Achmad Muttamakin

VII

SYEH AHMAD MUTAMAKIN

Syeh Ahmad Mutakim adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati. Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri - negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.[1]

Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.

Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru.[2] Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.[3]

Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di maja makan hanya ia pandangi saja. Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing.[4] Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda mahluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.

Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yang kebetulan saat itu Syeh Ahmad Mutamakin mendapat satu makanan yang hanya berisikan ikan asin kering. Kemudian tamu itu diajak makan bersama, namun si Tamu melahap habis nasi sama ikan kering tersebut. Tamu tersebut marah dan mau naik pitam ketika Syeh Ahmad Mutamain bilang bahwa anjing mereka saja tidak suka sama Ikan kering. Hal tersebut sangat menghinanya, maka dia menyebarkan isyu kepada para ulama-ulama se jawa.

Selebaran-selebaran tersebut mengatakan bahwa Syeh Ahmad Mutamakin sebagai seorang Muslim senjati telah memelihara anjing dan memeberi nama anjing tersebut dengan nama orang seperti Qomarudin dan Abdul Qohar, selain itu Beliau gemar melihat dan mendengarkan wayang dengan cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.[5]

Pihak keraton mendengar berita tersebut, sehingga ia mengutus seorang ulama bernama Ki Kedung Gede untuk menguji kebenaran tersebut sebelum Keraton memanggil dengan surat teguran atau panggilan dari pihak keraton. Syeh Ahmad Muthamakin tahu maksud hati dari tamu tersebut. Sehingga Syeh Ahmad Mutamakin bahwa beliau belum tahu huruf alif sekalipun, Ki Kedung Gede semakin Gusar, karena maksud yang ada dalam pikirannya telah tertebak dengan benar oleh Syeh Ahmad Mutamakin.

Selebaran yang telah beredar di seluruh ulama Jawa, ulama-ulama tersebut mendesak kepada pihak keraton[6] untuk mengadakan sidang pengadilan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin yang telah keliru dalam pemahaman terhadap Agama Islam. Mereka kuatir bila hal ini tidak diatasi akan berdapak buruk pada penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.

Persidangan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin dihadiri oleh ulama seluruh jawa. Seperti Khotib Anom dari Kudus, Ki Witono dari Surabaya, Ki Busu dari Gresik. Dan ulama-ulama lainnya. Mereka sepakat menyidangkan Syeh Ahmad Mutamakin pada persidangan kartosuro. Selanjutnya tuntutan terhadap beliau dibacakan oleh Patih Danurejo, setelah mereka membacakan tuntutan-tuntutan tersebut. Patih menyuruh anak buahnya segera mengutus dua orang sebagai duta tugas kepada Syeh Ahmad Mutamakin.[7]

Undangan yang hadir banyak sekali merka ingin menyaksikan Sidang Pengadilan Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut terjadi dua kelompok yang satu membela mati-matian Syeh Ahmad Mutamakin sedangkan kelompok yang satu menentang keras apa yang pernah dilakukan oleh Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut yang paling menonjol dalam adu argumentasi adalah Khotib Anom Kudus, Patih Danurejo, dan utusan Demang Irawan yang merupakan utusan yang ditugaskan oleh Raja untuk mengawasi persidanganSyeh Ahmad Mutamakin.

Persidangan menjadi a lot, karena pihak penuntut menghendaki Syeh Ahmad Mutamakin dihukum pancung, karena telah melanggar syareat Agama, sedangkan kelompok yang satu membela matia-matian Syeh Ahmad Mutamakin. Akhirnya sidang ditunda sampai besuk. Karena bukti-bukti yang mengarah untuk dijadikan bukti untuk memvonis belum ada.

Raja Kartosuro memanggil Demang Irawan untuk mengetahui hasilnya dan kondisi terakhir persidangan tersebut. Atas saran Demang Irawan, Raja ingin memanggil Syeh Ahmad Mutamakin langsung empat mata. Raja bermimpi tentang sebidang petak sawah yang sebagian ditanami, sebagian menguning, sebagian Ketam. Mimpi tersebut selalu menghantui pikirannya, akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin disuruh menafsirkan mimpi sang Raja. Syeh Ahmad Mutamakin menafsirkan mimpi Raja, bahwa Syeh Ahmad Mutamakin dapat bebas dari tuntutan pengadilan.

Setelah peristiwa tersebut, paduka Raja memrintahkan kepada Patih Danurejo untuk segera membebaskan Syeh Ahmad Mutamakin. Namun hal ini masih ada ulama seperti Khotib Anom yang masih keberatan akan keputusan raja tentang vonis bebas Syeh Ahmad Mutamakin. Mereka berhadapan dengan ulama uang membela Syeh Ahmad Mutamakin seperti Ki Kedung Gede.

Akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin dan Khotib Anom dipanggil menghadap keraton. Tentang perbedaan pendapat yang tidak ada habis-habisnya. Dan diadakan tafsir Serat Dewa Ruci dan Bimo Suci diantara keduanya. Syeh Ahmad Mutamakin menerjemahkan serat tersebut dan mempraktekaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Khotib Anom kesulitan dalam memaknai atau tafsir mimpi Dewa Ruci/Bima Suci. Akhirnya Khotib Anom mengakui kepandaian, dan kearifan Syeh Ahmad Mutamakin.[8]

Syeh Ahmad Mutamakin berhasil lolos dari hukuman pancung. Bahkan beliau mendapat bumi perdikan kajen. Yaitu daerah yang bebas pajak negara. Beliau diberikan kebebasan dalam menyebarkan Agama yang harus sesuai dengan kridor Islam. Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syeh Ronggo Kusumo,Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.

***FREEDOM***



[1] Cerita tentang Syeh Ahmad Mutahamakin berasal dari Serat Cebolek, yang mengisahkan Ki Cebolek dalam kiprahnya menyebarkan Agama Islam Di Pantai Utara Jawa.

[2] Ada versi yang mengatakan bahwa Syeh Ahnad Mutamakin, merantau dari negeri Arab kemudian terus mengajarkan agama ke pesisir. Ketika beliau habis menunaikan ibadah Haji, beliau diantar oleh murid-murid beliau sebangsa jin. Kemudian di alihkan kepada seokor Ikan Mladang. Yang disangka kayu balok.. kemudian mendarat ke Desa Cebolek “cebul-cebul melek” (tiba-tiba dapat membuka mata). Nama Desa Cebolek, ada versi yang mengatakan bahwa desa tersebut terletak di daerah Tuban, yang sekarang bernama Desa Winong. Kemudian ketika Syeah Mutamakin berada di wilayah Pati, nama-nama Desa yang ada di Tuban di gunakan di desa baru dfi wilayah Pati. Ini juga mirip dengan Sunan Kudus yang memberi nama wilayah Kudus seperti wilayah timur tengah “al Quds”.

[3] Syeh Ahmad Mutamakin melihat seberkas sinar dari sebelah barat. Ia menuju sinar tersebut dan bertemu dengan H. Syamsudin. Ia mendapat kepercayaan untuk tinggal di wilayah Kajen. Ini mirip dengan cerita Kudus, ketika K. Telingsing menyerahkan Kudus kepada Jafar Sidik (Sunan Kudus)

[4] Kontroversi Syeh Mutamaikn hampir sama dengan apa yang pernah dilakukan Syeh Siti Jenar, Sunan Panggung dan Syeh Among Rogo, al hallaj (Bagdad). Mereka adalah tokoh pernyebaran Islam di Jawa yang tidak sejalan dengan apa yang menjadi keputusan Agama Islam Keraton.

[5] Cerita ini ditulis dalam Serat Cebolek karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1803). Penulis produktif istana Kartasura pada masa Paku Buwono II (berkuasa 1726-1749). Dalam Serat Cebolek tersebut terdapat 2 tokoh yaitu Kyai Rifai yang dikenal dengan Rifa’iyah yang berkembang di daerah Batang Jawa Tengah.

[6] Masa hidup beliau adalah sekitar abad XVIII atau sekitar pemerintahan susuhunan Amangkurat IV sampai dengan pemerintahan Paku Buwono II yaitu tahun 1727-1749 Masehi.

[7] Peristiwa ini kejadiaannya kira-kira pada tahun 1725 Masehi.

[8] Versi lain dalam persidangan dan tafsir mimpi tersebut Khotib Anom Kudus menang, sedangkan versi yang lain dimenangkan oleh pihak Syeh Ahmad Mutamakin.




SILSILAH SYAIH KH. AHMAD MUTAMAKIN

(Versi Kajen)

Dari Pihak Ayah Dari Pihak Ibu

Raden Patah Sayid Ali Akbar

Sultan Demak Dari Bejagung Tuban




Sultan Trenggono




Istri Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor

(Joko Tingkir)




Sumo Hadiningrat Raden Tanu

(Pangeran Benowo)




Sumohadinegoro X Putri Raden Tanu




Syekh Ahmad Mutamakin




Nyai Godheg K. Bagus K. Endro Muhammad